Dwifungsi ABRI Orde Baru: Apa Itu? Pengaruhnya Dulu dan Kini
Pernah dengar istilah Dwifungsi ABRI? Istilah ini sering muncul kalau kita ngobrolin sejarah Indonesia, terutama zaman Orde Baru. Nah, apa sih sebenarnya Dwifungsi ABRI itu? Sederhananya, ini adalah sebuah doktrin yang memberikan dua fungsi sekaligus kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada masa itu: tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara, tapi juga sebagai kekuatan sosial politik. Jadi, militer pada zaman Orde Baru itu punya peran yang jauh lebih luas dari sekadar menjaga perbatasan atau menumpas pemberontakan. Mereka juga terlibat aktif dalam urusan pemerintahan, politik, bahkan sampai ke ekonomi dan sosial masyarakat.
Image just for illustration
Konsep ini menjadi tulang punggung kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan di Indonesia selama lebih dari tiga puluh tahun. Bayangkan, militer yang biasanya cuma fokus ke urusan perang dan keamanan, tiba-tiba punya hak untuk duduk di parlemen, jadi kepala daerah, bahkan mengelola bisnis negara. Makanya, wajar kalau Dwifungsi ABRI ini sering jadi perdebatan dan punya banyak cerita di baliknya.
Awal Mula Konsep Dwifungsi ABRI¶
Untuk memahami Dwifungsi ABRI, kita perlu mundur sedikit ke belakang, terutama setelah peristiwa G30S/PKI di tahun 1965. Kondisi politik saat itu sangat tidak stabil, ekonomi carut-marut, dan kekuasaan Presiden Soekarno mulai goyah. Di tengah kekosongan kekuasaan dan kekacauan ini, Angkatan Darat, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, berhasil mengambil alih kendali dan memulihkan keamanan. Dari sinilah kemudian lahir rezim Orde Baru yang berjanji akan menciptakan stabilitas dan pembangunan.
Soeharto dan para jenderal lainnya percaya bahwa militer tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu perintah. Mereka merasa bahwa militer punya tanggung jawab moral dan historis untuk ikut membangun negara, menjaga ideologi Pancasila, dan mencegah terulangnya kekacauan politik. Cikal bakal konsep ini sebenarnya sudah ada sejak masa perjuangan kemerdekaan, di mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) memang ikut berpolitik dan membentuk negara. Namun, di era Orde Baru, konsep ini diformalkan dan dilembagakan secara masif. Jadi, Dwifungsi ABRI bukan cuma ide sesaat, tapi sebuah doktrin yang diyakini sebagai “jalan satu-satunya” untuk menyelamatkan dan membangun Indonesia.
Apa Itu Dwifungsi ABRI? Lebih dari Sekadar Tentara!¶
Secara definisi, Dwifungsi ABRI berarti ABRI memiliki dua fungsi utama yang tidak bisa dipisahkan. Ini dia penjelasannya:
Fungsi Pertahanan dan Keamanan (Hankam)¶
Ini adalah fungsi tradisional militer yang paling dasar. ABRI bertugas menjaga kedaulatan negara, mempertahankan wilayah dari ancaman luar, dan menumpas setiap gerakan yang mengganggu keamanan dalam negeri, seperti pemberontakan atau separatisme. Mereka adalah garda terdepan dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke. Dalam fungsi ini, ABRI menjalankan tugas-tugas militer murni, seperti patroli perbatasan, latihan tempur, atau operasi penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Tugas-tugas ini dilakukan dengan disiplin tinggi dan profesionalisme ala militer. Mereka memastikan negara aman dari ancaman militer, terorisme, hingga kejahatan besar yang bisa merongrong stabilitas nasional. Intinya, mereka adalah penjaga kedaulatan dan keamanan yang menggunakan senjata dan kekuatan fisik jika memang diperlukan.
Fungsi Sosial Politik (Sospol)¶
Nah, ini dia bagian yang membuat Dwifungsi ABRI jadi unik dan kontroversial. Selain tugas Hankam, ABRI juga punya peran aktif dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat. Artinya, mereka tidak hanya bertugas di barak atau medan perang, tapi juga terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan, pengelolaan pemerintahan, bahkan sampai ke urusan sosial kemasyarakatan.
Image just for illustration
Beberapa bentuk peran Sospol ABRI antara lain:
- Kekaryaan ABRI: Perwira aktif maupun purnawirawan ABRI banyak yang menduduki jabatan-jabatan sipil penting, mulai dari gubernur, bupati, walikota, kepala dinas, direksi BUMN, rektor universitas, hingga kepala desa. Mereka ditempatkan di posisi-posisi ini dengan alasan untuk membawa disiplin, kepemimpinan, dan efisiensi militer ke dalam birokrasi sipil.
- Fraksi ABRI di Legislatif: ABRI memiliki jatah kursi tersendiri di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanpa melalui pemilihan umum. Anggota Fraksi ABRI ditunjuk langsung oleh Panglima ABRI dan bertugas mewakili kepentingan ABRI serta mengawal kebijakan pemerintah.
- Pembinaan Teritorial (Binter): ABRI membangun jaringan komando teritorial dari pusat (Kodam) hingga ke pelosok desa (Babinsa). Jaringan ini bukan cuma untuk pertahanan, tapi juga untuk memantau situasi sosial, politik, dan bahkan ekonomi di masyarakat. Mereka juga aktif dalam kegiatan pembangunan, penyuluhan, hingga social engineering.
- Kontrol Sosial dan Politik: ABRI melalui unit-unit intelijennya seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan kemudian Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) punya wewenang sangat besar untuk memantau, mengawasi, dan bahkan menindak individu atau kelompok yang dianggap mengancam stabilitas atau ideologi negara. Ini sering kali menyebabkan pengekangan kebebasan berpendapat dan tindakan represif terhadap oposisi.
Jadi, bisa dibayangkan betapa luasnya jangkauan ABRI pada masa itu. Mereka ada di mana-mana, dari urusan pertahanan sampai urusan dapur rumah tangga masyarakat. Ini adalah ciri khas yang membedakan militer Indonesia di era Orde Baru dengan militer di banyak negara lain yang menganut prinsip supremasi sipil, di mana militer tunduk sepenuhnya pada kontrol sipil dan hanya berfokus pada tugas-tugas militer.
Mekanisme Implementasi Dwifungsi: Bagaimana ABRI Bergerak di Setiap Lini Kehidupan?¶
Dwifungsi ABRI tidak hanya sekadar konsep di atas kertas. Ada berbagai mekanisme yang diterapkan untuk memastikan ABRI bisa menjalankan peran gandanya ini secara efektif.
Kekaryaan ABRI: Merah Putih di Seragam Sipil¶
Salah satu mekanisme paling mencolok adalah program Kekaryaan ABRI. Ini adalah kebijakan penempatan anggota ABRI, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan, untuk menduduki posisi-posisi penting di sektor sipil. Bukan cuma di kementerian atau lembaga negara, tapi juga di pemerintah daerah, BUMN, bahkan organisasi masyarakat. Tujuannya diklaim untuk mengisi kekurangan tenaga ahli sipil, meningkatkan disiplin kerja, dan memastikan stabilitas politik dalam setiap lini pemerintahan.
Image just for illustration
Contoh nyatanya, banyak gubernur, walikota, bupati, kepala kantor wilayah, hingga direktur perusahaan negara yang dijabat oleh perwira militer. Mereka membawa gaya kepemimpinan militer yang cenderung hierarkis dan top-down ke dalam birokrasi sipil. Hal ini tentu saja berdampak pada cara kerja pemerintahan, yang menjadi lebih terpusat dan komando, namun di sisi lain juga sering disebut kurang mengakomodasi partisipasi masyarakat atau kritik.
Pembinaan Teritorial (Binter): Jaringan Militer sampai Pelosok Desa¶
Mekanisme lainnya adalah Pembinaan Teritorial (Binter). Ini adalah strategi di mana ABRI membangun jaringan komando militer yang merata di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat (Markas Besar ABRI, Kodam/Korem/Kodim) hingga ke tingkat paling bawah seperti Komando Rayon Militer (Koramil) di kecamatan dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) di setiap desa.
Babinsa, misalnya, bukan hanya bertugas sebagai penjaga keamanan, tapi juga sebagai mata dan telinga pemerintah di desa. Mereka terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, pertanian, kesehatan, bahkan mendamaikan perselisihan antarwarga. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan kebijakan pemerintah pusat tersampaikan hingga ke pelosok, sekaligus memantau setiap potensi gangguan keamanan atau gejolak sosial yang bisa muncul. Ini adalah cara yang sangat efektif untuk menjaga kontrol dan stabilitas dari bawah ke atas.
Fraksi ABRI di Parlemen: Suara Militer di Ranah Hukum¶
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ABRI memiliki jatah kursi di DPR dan MPR tanpa melalui proses pemilihan umum. Anggota Fraksi ABRI diisi oleh perwira aktif yang ditunjuk langsung. Kehadiran mereka di parlemen ini memastikan bahwa setiap undang-undang atau kebijakan yang dibuat tidak akan bertentangan dengan kepentingan ABRI atau pemerintah Orde Baru. Mereka juga berperan dalam mengamankan kebijakan presiden dan mengawal jalannya pembangunan sesuai visi Orde Baru. Ini menunjukkan dominasi militer tidak hanya di eksekutif, tapi juga di legislatif.
Pengawasan Keamanan dan Ketertiban: Tangan Besi Stabilitas¶
Untuk menjaga stabilitas, rezim Orde Baru juga mengandalkan lembaga-lembaga seperti Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang kemudian diganti menjadi Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional). Lembaga ini memiliki wewenang sangat besar dalam melakukan penangkapan, penahanan, bahkan interogasi terhadap individu atau kelompok yang dicurigai mengganggu keamanan atau ketertiban. Wewenang ini sering kali digunakan untuk membungkam kritik atau oposisi, menyebabkan banyak aktivis, seniman, atau intelektual yang merasa tertekan dan tidak bisa berekspresi bebas. Inilah salah satu alasan mengapa Dwifungsi ABRI sering dikaitkan dengan otoritarianisme dan pelanggaran HAM.
Dampak Dwifungsi ABRI: Sisi Positif dan Negatif¶
Dwifungsi ABRI, seperti setiap kebijakan besar lainnya, punya dua sisi mata uang: dampak positif (yang banyak diklaim oleh pendukungnya) dan dampak negatif (yang menjadi sorotan para kritikus).
Klaim Sisi Positif (Perspektif Orde Baru)¶
Dari sudut pandang pemerintah Orde Baru dan para pendukungnya, Dwifungsi ABRI adalah kunci keberhasilan Indonesia dalam menjaga stabilitas dan mendorong pembangunan.
- Stabilitas Politik dan Keamanan: Peran aktif militer dianggap berhasil menumpas gerakan-gerakan separatis, meredam konflik komunal, dan menciptakan iklim yang aman untuk investasi dan pembangunan ekonomi. Tanpa stabilitas, pembangunan tidak akan mungkin berjalan.
- Percepatan Pembangunan: Dengan disiplin dan etos kerja militer, para perwira yang ditempatkan di posisi sipil diklaim mampu mempercepat implementasi program-program pembangunan, mulai dari pembangunan infrastruktur, program keluarga berencana, hingga swasembada pangan.
- Persatuan Nasional: ABRI dianggap sebagai perekat persatuan nasional di tengah kebhinekaan suku, agama, dan budaya. Jaringan teritorial dan keberadaan mereka di seluruh pelosok negeri membantu menjaga keutuhan NKRI.
- Efisiensi dan Disiplin: Gaya komando militer dianggap membawa efisiensi dan disiplin dalam birokrasi yang sebelumnya mungkin lamban atau korup.
Namun, klaim-klaim positif ini seringkali juga dibarengi dengan pertanyaan tentang biaya sosial dan politik yang harus dibayar.
Kritik dan Sisi Negatif (Dampak Jangka Panjang)¶
Banyak pihak, terutama aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan kelompok pro-demokrasi, melihat Dwifungsi ABRI sebagai akar dari berbagai masalah serius di Indonesia selama Orde Baru.
- Militarisasi Birokrasi dan Masyarakat: Keterlibatan militer yang berlebihan menyebabkan birokrasi menjadi kaku, kurang inovatif, dan seringkali otoriter. Masyarakat juga cenderung menjadi pasif dan takut untuk menyuarakan pendapat atau mengkritik pemerintah karena adanya pengawasan militer yang ketat.
- Erosi Demokrasi dan Supremasi Sipil: Dwifungsi ABRI secara fundamental melemahkan prinsip demokrasi, di mana kekuasaan sipil seharusnya berada di atas militer. Dengan militer yang punya peran politik dan pemerintahan, check and balance menjadi tidak seimbang, dan proses demokrasi menjadi sekadar formalitas. Partai politik dan organisasi masyarakat sipil menjadi lemah.
- Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM): Dalih menjaga stabilitas dan keamanan seringkali menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan represif dan pelanggaran HAM. Penangkapan tanpa proses hukum, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan sering terjadi terhadap mereka yang dianggap subversif atau mengganggu keamanan. Kasus-kasus seperti Talangsari, Tanjung Priok, atau penculikan aktivis adalah contoh kelam dari sisi ini.
- Korupsi dan Kolusi: Keterlibatan ABRI dalam sektor ekonomi, baik melalui BUMN maupun bisnis pribadi, seringkali memicu praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Militer punya akses ke sumber daya dan kekuasaan, yang kadang disalahgunakan untuk memperkaya diri atau kelompoknya, menciptakan monopoli dan praktik bisnis tidak sehat.
- Stagnasi Kaderisasi Sipil: Dengan banyaknya posisi sipil yang diisi oleh militer, kesempatan bagi para profesional sipil untuk mengembangkan karir dan memimpin menjadi terbatas. Ini menyebabkan terhambatnya regenerasi dan pengembangan potensi sipil di berbagai sektor.
- Kesenjangan Antara Militer dan Masyarakat: Peran yang terlalu dominan membuat militer seringkali terpisah dari masyarakat sipil. Mereka cenderung memiliki privilese dan gaya hidup yang berbeda, yang kadang menimbulkan kecemburuan dan ketidakpercayaan dari masyarakat.
Image just for illustration
Singkatnya, meski Dwifungsi ABRI berhasil menciptakan stabilitas dan mempercepat pembangunan di permukaan, di baliknya ada harga mahal yang dibayar berupa kemunduran demokrasi, pelanggaran HAM, dan penguatan sistem otoriter.
Akhir Dwifungsi ABRI: Era Reformasi dan Pemisahan TNI-Polri¶
Mimpi buruk Dwifungsi ABRI mulai berakhir seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Gelombang reformasi yang digerakkan oleh mahasiswa dan masyarakat menuntut adanya perubahan fundamental, salah satunya adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Militer, yang selama ini menjadi pilar utama kekuasaan Orde Baru, harus menghadapi kenyataan pahit bahwa perannya sebagai kekuatan sosial politik tidak lagi bisa diterima oleh rakyat.
Tuntutan reformasi ABRI menjadi salah satu poin penting dalam agenda reformasi total. Sejak saat itu, secara bertahap, Dwifungsi ABRI mulai dihapuskan:
- Pemisahan TNI dan Polri: Pada tahun 1999, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dipisahkan dari ABRI dan menjadi lembaga tersendiri di bawah Kementerian Dalam Negeri. ABRI kemudian diubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pemisahan ini bertujuan untuk membuat Polri lebih fokus pada penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, sedangkan TNI fokus pada pertahanan negara.
- Penghapusan Fraksi ABRI di DPR/MPR: Secara bertahap, jatah kursi TNI di parlemen dikurangi, hingga akhirnya dihapuskan sepenuhnya pada tahun 2004. Ini berarti militer tidak lagi punya hak istimewa di ranah legislatif dan harus tunduk pada kontrol sipil sepenuhnya.
- Penarikan Militer dari Jabatan Sipil: Secara bertahap, anggota TNI ditarik dari jabatan-jabatan sipil di pemerintahan atau BUMN. Posisi-posisi tersebut kini diisi oleh profesional sipil.
- Redefinisi Doktrin TNI: Doktrin TNI kembali ke fungsi profesionalnya sebagai alat pertahanan negara, menjauhi peran sosial politik. Militer diharapkan netral dari politik praktis dan hanya tunduk pada kebijakan pemerintah yang demokratis.
Image just for illustration
Proses reformasi militer ini tidak mudah dan memakan waktu bertahun-tahun. Ada banyak perdebatan dan tantangan, namun komitmen untuk menjadikan TNI sebagai kekuatan profesional yang hanya berfokus pada pertahanan negara dan tunduk pada supremasi sipil terus diperkuat.
Melihat Dwifungsi Hari Ini: Pelajaran dari Sejarah¶
Meskipun Dwifungsi ABRI sudah secara resmi dihapus sejak era Reformasi, bukan berarti kita bisa melupakannya begitu saja. Jejak-jejaknya, baik dalam struktur birokrasi, pola pikir masyarakat, hingga masalah HAM masa lalu, masih terasa hingga hari ini. Memahami Dwifungsi ABRI berarti belajar dari sejarah tentang pentingnya supremasi sipil dalam negara demokrasi.
Kita belajar bahwa militer yang profesional haruslah fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga kedaulatan dan keamanan negara, tanpa ikut campur dalam politik praktis atau urusan pemerintahan sipil. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah munculnya kembali rezim otoriter. Indonesia kini bergerak menuju demokrasi yang lebih matang, di mana setiap lembaga negara memiliki peran yang jelas dan saling mengawasi, dengan kontrol sipil yang kuat terhadap militer. Ini adalah pelajaran berharga dari masa lalu yang harus selalu kita ingat.
Fakta Unik Seputar Dwifungsi ABRI¶
- Gubernur Militer: Selama Orde Baru, hampir semua gubernur di provinsi-provinsi strategis, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, dijabat oleh perwira militer.
- Berapa Banyak Jenderal di DPR?: Pada masa puncak Dwifungsi, Fraksi ABRI bisa memiliki puluhan anggota di DPR dan ratusan di MPR, semuanya adalah perwira aktif atau purnawirawan.
- Binter hingga RT/RW: Jaringan Pembinaan Teritorial ABRI sangat rapat hingga ke tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Babinsa adalah sosok yang sangat dikenal di setiap desa.
- Litsus (Penelitian Khusus): Untuk bisa menduduki jabatan publik, PNS, bahkan masuk perguruan tinggi tertentu, seseorang kadang harus melewati proses Litsus yang dilakukan oleh aparat keamanan, untuk memastikan tidak ada keterkaitan dengan PKI atau organisasi terlarang lainnya. Ini adalah bagian dari mekanisme kontrol sosial yang sangat ketat.
Dwifungsi ABRI adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang bangsa ini. Memahami kompleksitasnya akan membantu kita untuk menghargai capaian demokrasi saat ini dan terus menjaga agar sejarah kelam tidak terulang kembali.
Gimana, makin paham kan sekarang tentang Dwifungsi ABRI? Pasti banyak banget pertanyaan atau mungkin pengalaman pribadi dari keluarga atau kenalan kalian tentang masa Orde Baru ini. Yuk, share pendapat kalian di kolom komentar! Menurut kalian, apa dampak Dwifungsi ABRI yang paling terasa sampai sekarang?
Posting Komentar