Riya & Sum'ah: Mengenal Lebih Dalam, Bedanya Apa Sih? Yuk Simak!

Table of Contents

Dalam menjalani kehidupan, terutama bagi kita yang beriman, seringkali kita melakukan berbagai kebaikan. Mulai dari ibadah wajib seperti shalat dan puasa, hingga amalan sunnah seperti sedekah, membantu orang lain, atau membaca Al-Qur’an. Semua ini kita lakukan dengan harapan mendapatkan pahala dan ridha dari Allah SWT. Namun, ada dua penyakit hati yang sangat berbahaya, yang bisa merusak bahkan menghanguskan pahala dari semua kebaikan yang sudah susah payah kita lakukan: riya dan sum’ah. Keduanya adalah bisikan halus dari setan yang menggoda manusia untuk mencari pujian dan sanjungan dari sesama makhluk, bukan semata-mata karena Allah.

Mengenal riya dan sum’ah menjadi sangat penting agar kita bisa membentengi diri dan menjaga keikhlasan dalam beramal. Keduanya seringkali sulit dikenali karena bisa menyusup diam-diam dalam niat dan perbuatan kita. Mari kita kupas tuntas apa sebenarnya riya dan sum’ah itu, serta bagaimana cara kita bisa terhindar darinya.

Riya: Ketika Ibadah Tercampur Urusan Dunia

Apa itu riya? Secara bahasa, riya berasal dari kata bahasa Arab ra’a, yang berarti “melihat”. Maksud dari riya dalam konteks ibadah dan amal kebaikan adalah melakukan suatu perbuatan baik agar dilihat atau diperhatikan oleh orang lain. Tujuannya bukan lagi murni karena Allah, melainkan demi mendapatkan pujian, sanjungan, pengakuan, atau bahkan keuntungan materi dari manusia.

Ini adalah penyakit hati yang sangat halus dan berbahaya. Bayangkan, kita shalat dengan khusyuk, tapi di dalam hati terbersit keinginan agar orang lain melihat kekhusyukan kita dan memuji kita sebagai orang yang saleh. Atau kita bersedekah, tapi memilih tempat yang ramai agar banyak orang tahu bahwa kita adalah orang yang dermawan. Itulah riya. Amalan yang seharusnya menjadi bekal di akhirat, ternodai oleh niat mencari perhatian dunia.

Bentuk-bentuk Riya

Riya bisa muncul dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Tidak hanya pada ibadah formal, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita lihat beberapa contohnya:

Riya dalam Ibadah Formal

  • Shalat: Memperpanjang shalat, memperindah gerakan, atau menampilkan kekhusyukan yang berlebihan hanya saat ada orang lain di sekitar. Padahal, saat sendirian, shalatnya biasa saja atau terburu-buru.
  • Puasa: Memberitahukan semua orang bahwa dirinya sedang berpuasa sunnah, dengan harapan dipuji atau dikasihani.
  • Sedekah: Memberi sedekah dalam jumlah besar di depan umum, atau mengunggah foto/video saat memberi bantuan di media sosial, padahal bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
  • Membaca Al-Qur’an: Membaca dengan suara yang merdu dan tajwid yang indah di hadapan orang lain, bukan semata-mata untuk tadarus dan menghayati maknanya, melainkan agar dipuji suaranya atau kemampuannya.
  • Haji/Umrah: Menceritakan setiap detail perjalanan hajinya dengan sangat dramatis, memposting banyak foto dan video, dengan harapan orang lain menganggapnya sebagai hamba yang taat.

Riya dalam Amal Kebaikan Lain

  • Berpakaian Islami: Mengenakan pakaian syar’i bukan semata-mata menjalankan syariat, tapi agar dianggap alim atau saleh oleh orang lain.
  • Mengikuti Pengajian/Kajian: Rutin datang ke majelis ilmu, bukan karena haus ilmu, tapi agar terlihat aktif dalam kegiatan keagamaan dan dikenal sebagai orang yang “ngaji”.
  • Berbicara tentang Agama: Menyampaikan nasihat atau berdiskusi tentang agama dengan dalil-dalil yang mendalam, bukan untuk berbagi ilmu, tapi agar dianggap pintar atau menguasai ilmu agama.
  • Menolong Orang Lain: Membantu seseorang di depan umum, atau memposting cerita tentang kebaikan yang dilakukannya (meskipun “anonim” tapi jelas itu dirinya), dengan harapan mendapat simpati dan pujian.

Intinya, riya adalah ketika motivasi utama atau sebagian besar dalam beramal baik adalah untuk mendapatkan reaksi positif dari manusia, bukan dari Allah.

Man doing good deed
Image just for illustration

Bahaya Riya

Riya adalah pintu gerbang menuju kehancuran amal. Allah SWT tidak menerima amalan kecuali yang dikerjakan semata-mata untuk-Nya. Riya adalah bentuk syirik kecil (syirik asghar), yang meskipun tidak mengeluarkan seseorang dari Islam, tapi bisa membatalkan amalan yang dihinggapinya. Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan umatnya terjerumus dalam syirik kecil ini, lebih dari syirik besar.

Salah satu bahaya terbesar riya adalah hilangnya keikhlasan, yang merupakan ruh dari setiap amalan. Tanpa keikhlasan, amalan sebesar apapun bisa menjadi sia-sia di hadapan Allah. Seperti debu yang berterbangan, tidak memiliki bobot di timbangan amal kelak di akhirat. Selain itu, riya juga bisa menimbulkan penyakit hati lainnya, seperti ujub (kagum pada diri sendiri) dan takabbur (sombong).

Sum’ah: Ketika Kebaikan Jadi Bahan Cerita

Nah, kalau riya itu beramal baik agar dilihat orang saat melakukannya, maka sum’ah sedikit berbeda. Sum’ah berasal dari kata bahasa Arab sami’a, yang berarti “mendengar”. Sum’ah adalah melakukan suatu perbuatan baik lalu menceritakan atau menyebarkannya agar didengar oleh orang lain. Tujuannya sama dengan riya: mencari pujian, popularitas, atau keuntungan duniawi lainnya dari manusia setelah amalan itu selesai dikerjakan.

Jika riya beraksi saat beramal, sum’ah beraksi setelah beramal. Seseorang mungkin awalnya beramal dengan ikhlas, tidak ada niat riya sama sekali. Namun, setelah selesai, ia mulai menceritakan amalannya itu kepada orang lain, dengan harapan didengar dan mendapat sanjungan. “Tadi malam saya shalat tahajud lama sekali lho,” atau “Saya kemarin sedekah ke panti asuhan X, jumlahnya lumayan,” adalah contoh kalimat yang bisa terindikasi sum’ah jika disampaikan dengan niat mencari perhatian.

Contoh Sum’ah

Sama seperti riya, sum’ah juga bisa terjadi dalam berbagai konteks:

  • Setelah Sedekah: Seseorang bersedekah secara sembunyi-sembunyi (tidak riya), tapi setelahnya ia sengaja menceritakan kepada teman-teman atau keluarganya bahwa ia baru saja bersedekah, dengan ekspresi yang seolah-olah merendah tapi mengharapkan pujian.
  • Setelah Menolong: Seseorang menolong orang lain secara diam-diam, tapi kemudian ia memposting di media sosial tentang “pentingnya berbagi dan membantu sesama” dengan narasi yang menggiring pembaca untuk menduga bahwa dialah pelakunya.
  • Setelah Beribadah: Seseorang selesai shalat malam atau membaca Al-Qur’an di rumah, lalu keesokan harinya ia menceritakan “pengalaman spiritual” semalam kepada rekan kerjanya, bukan untuk memberikan motivasi yang tulus, tapi agar dianggap saleh.
  • Setelah Berhenti Maksiat: Seseorang berhasil meninggalkan kebiasaan buruk (misalnya merokok atau ghibah), lalu ia berkali-kali menceritakan perjuangannya itu dengan detail kepada banyak orang, dengan harapan dipuji keteguhannya.

Person telling story
Image just for illustration

Bahaya Sum’ah

Sum’ah memiliki bahaya yang mirip dengan riya, yaitu bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala dari amalan yang diceritakan. Jika riya merusak niat di awal atau saat beramal, sum’ah merusak amalan setelah selesai dikerjakan. Keduanya sama-sama menunjukkan bahwa pelaku belum sepenuhnya beramal hanya untuk Allah, melainkan masih mengharapkan balasan atau perhatian dari manusia.

Dalam Islam, amalan terbaik adalah yang dilakukan secara ikhlas dan sesuai sunnah. Keikhlasan adalah urusan hati yang sangat pribadi antara hamba dengan Tuhannya. Ketika seseorang menceritakan amalannya dengan niat sum’ah, ia sedang “mengambil” balasan amalannya di dunia ini dalam bentuk pujian atau popularitas, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk diambil di akhirat.

Perbedaan Riya dan Sum’ah: Kapan Terjadinya?

Agar lebih jelas, mari kita lihat poin utama perbedaan antara riya dan sum’ah:

Aspek Riya Sum’ah
Waktu Kejadian Saat melakukan amalan Setelah selesai melakukan amalan
Modus Operandi Melakukan amalan agar dilihat orang Menceritakan amalan agar didengar orang
Tujuan Utama Mendapat pujian saat beramal Mendapat pujian setelah beramal

Meskipun berbeda dalam waktu dan modus, riya dan sum’ah memiliki akar yang sama: lemahnya keikhlasan dan adanya keinginan untuk mencari perhatian serta pengakuan dari sesama manusia. Keduanya adalah penyakit hati yang bisa membatalkan atau mengurangi nilai pahala dari amalan saleh.

Mengapa Riya dan Sum’ah Sangat Berbahaya?

Dalam ajaran Islam, keikhlasan adalah syarat mutlak diterimanya suatu amalan di sisi Allah SWT. Amalan tanpa keikhlasan seperti jasad tanpa ruh, tidak bernilai. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa perintah utama adalah beribadah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mukhlisinah lahud din), yaitu ikhlas.

Rasulullah SAW juga mengingatkan tentang bahaya riya dalam banyak hadits. Salah satunya, beliau bersabda bahwa orang pertama yang akan diadili di hari kiamat adalah tiga golongan: orang yang mati syahid, orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, dan orang yang dermawan. Namun, mereka semua dilemparkan ke neraka karena amalan mereka tidak ikhlas, melainkan untuk disebut sebagai pemberani, alim, dan dermawan oleh manusia. Na’udzubillah min dzalik!

Riya dan sum’ah tidak hanya merugikan di akhirat dengan hilangnya pahala, tapi juga merusak diri di dunia. Orang yang riya dan sum’ah akan terus menerus merasa tidak tenang karena amalnya tergantung pada penilaian manusia. Ia akan lelah berpura-pura dan mencari validasi. Kehidupan spiritualnya menjadi kering karena hubungannya dengan Allah tidak lagi murni. Secara sosial, riya dan sum’ah bisa menimbulkan ketidakpercayaan dan rasa curiga dari orang lain jika kedoknya terbongkar.

Tips Praktis Menghindari Riya dan Sum’ah

Menghindari riya dan sum’ah memang tidak mudah, karena ini adalah perjuangan seumur hidup melawan hawa nafsu dan bisikan setan. Namun, bukan berarti mustahil. Berikut beberapa tips yang bisa kita lakukan:

1. Perbaiki dan Jaga Niat (Niat)

Ini adalah fondasi terpenting. Sebelum, saat, dan setelah beramal, selalu ingatkan diri: “Aku melakukan ini hanya karena Allah, mengharap ridha-Nya.” Perbarui niat terus-menerus. Sadari bahwa pujian manusia tidak akan menambah sedikitpun balasan dari Allah, dan celaan manusia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala dari Allah jika amalan itu ikhlas.

2. Fokus pada Allah, Bukan pada Manusia

Saat beramal, lupakan sejenak keberadaan orang lain. Fokuskan hati dan pikiran hanya kepada Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Ingatlah bahwa Allah Maha Dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Dia melihat apa yang tampak dan apa yang tersembunyi di dalam hati.

3. Rahasiakan Amalan Kebaikan (Jika Memungkinkan)

Beberapa amalan memang dianjurkan untuk terang-terangan, misalnya zakat fitrah atau amar ma’ruf nahi munkar (dengan cara yang benar). Namun, untuk amalan-amalan pribadi seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah, membaca Al-Qur’an, atau dzikir, usahakanlah untuk melakukannya secara rahasia. Sedekah yang paling utama adalah yang tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan tangan kanannya. Menyembunyikan amalan lebih sulit terkena riya dan sum’ah, serta menunjukkan ketulusan yang lebih tinggi.

Person praying alone
Image just for illustration

4. Pahami Hakikat Pujian dan Celaan Manusia

Pujian manusia itu fana, tidak abadi, dan seringkali tidak didasarkan pada pengetahuan yang sebenarnya tentang diri kita. Celaan manusia juga demikian. Yang abadi dan paling penting adalah penilaian Allah. Jika kita beramal ikhlas karena Allah, pujian atau celaan manusia tidak akan berpengaruh pada nilai amalan kita di sisi-Nya. Ini butuh kesadaran dan keyakinan yang kuat.

5. Banyak Berdzikir dan Berdoa

Memperbanyak mengingat Allah (dzikir) membantu hati lebih tenang dan fokus hanya kepada-Nya. Berdoalah kepada Allah agar dijauhkan dari riya dan sum’ah. Ada doa khusus yang diajarkan Rasulullah SAW:

“Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika syai-an a’lamuhu wa astaghfiruka lima la a’lamuhu.”
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu untuk syirik yang tidak aku ketahui.)

Doa ini sangat relevan karena riya dan sum’ah adalah bagian dari syirik kecil yang seringkali tidak kita sadari.

6. Introspeksi Diri (Muhasabah)

Luangkan waktu untuk merenung dan menanyakan pada diri sendiri: “Mengapa aku melakukan ini? Apakah murni karena Allah? Adakah sedikit saja niat agar dilihat atau dipuji orang?” Jika ada sedikit keraguan, segera perbaiki niat. Muhasabah membantu kita mengenali penyakit hati yang tersembunyi.

7. Cari Teman yang Saleh (Lingkungan yang Baik)

Berada di lingkungan orang-orang saleh yang saling mengingatkan tentang keikhlasan akan sangat membantu. Mereka bisa menjadi pengingat saat kita mulai tergelincir pada riya atau sum’ah, dan kita bisa saling menguatkan dalam berjuang melawan penyakit hati ini.

8. Ingat Kematian dan Hari Akhir

Mengingat bahwa kehidupan dunia hanya sementara dan kita akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan setiap amalan akan membuat kita lebih serius dalam menjaga keikhlasan. Di akhirat nanti, yang dinilai bukanlah seberapa banyak amalan kita dilihat manusia, melainkan seberapa tulus amalan itu dikerjakan hanya karena Allah.

Fakta Menarik Seputar Ikhlas, Riya, dan Sum’ah

  • Ikhlas itu Sangat Sulit: Para ulama salaf (generasi awal umat Islam) seringkali berkata bahwa menjaga keikhlasan itu lebih sulit daripada melakukan amalan itu sendiri. Ini menunjukkan betapa licinnya godaan riya dan sum’ah.
  • Riya Bisa Menghanguskan Amalan: Amalan yang disertai riya bisa menjadi sia-sia, bahkan bisa mendatangkan murka Allah karena dianggap mempersekutukan-Nya dalam niat.
  • Sum’ah Bisa Datang Belakangan: Seseorang mungkin beramal dengan ikhlas, tapi syaitan bisa menggodanya setelah selesai beramal untuk menceritakannya demi pujian. Ini menunjukkan bahwa perjuangan menjaga keikhlasan berlangsung terus-menerus.
  • Niat yang Benar Mengubah Kebiasaan Jadi Ibadah: Bahkan aktivitas duniawi seperti bekerja, makan, tidur, atau berkumpul dengan keluarga, bisa bernilai ibadah jika diniatkan dengan benar karena Allah (misalnya mencari nafkah halal untuk keluarga, menjaga kesehatan agar bisa beribadah, mempererat silaturahim). Sebaliknya, ibadah formal bisa tidak bernilai jika diniatkan untuk selain Allah.
  • Ada Riya yang Diperbolehkan?: Beberapa ulama membedakan antara riya yang merusak niat dengan menampilkan syiar agama. Misalnya, memakai pakaian yang rapi dan menutup aurat saat ke masjid bukan riya jika niat utamanya menjalankan perintah agama, meskipun secara otomatis akan terlihat baik oleh orang lain. Memperlihatkan kekuatan dan persiapan perang di hadapan musuh juga bukan riya, melainkan bagian dari strategi yang diperintahkan (QS. Al-Anfal: 60). Batasnya memang tipis dan kembali pada niat di dalam hati.

Penutup: Perjuangan Menuju Keikhlasan Sejati

Riya dan sum’ah adalah dua sisi dari mata uang yang sama: hilangnya fokus pada Allah dan berpaling kepada manusia dalam beramal. Keduanya adalah penyakit hati yang kronis dan bisa merusak semua kebaikan yang telah kita lakukan. Mengenali riya dan sum’ah adalah langkah awal untuk memeranginya.

Perjuangan untuk meraih keikhlasan sejati adalah perjalanan spiritual yang tiada henti. Butuh kesadaran, muhasabah (introspeksi), doa, dan lingkungan yang mendukung. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dan menjaga hati kita agar tetap tulus dalam beramal, semata-mata mengharap wajah-Nya yang Mulia.

Mari kita terus belajar, saling mengingatkan, dan berjuang bersama untuk menjadi hamba yang ikhlas. Karena pada akhirnya, hanya keikhlasanlah yang akan membawa amalan kita sampai ke hadapan-Nya dan menjadi bekal keselamatan di hari yang tiada guna lagi harta dan anak-anak, kecuali hati yang bersih.

Bagaimana menurut Anda? Pernahkah Anda merasa tergelincir dalam riya atau sum’ah, meskipun sekecil apapun? Apa tips pribadi Anda untuk menjaga keikhlasan? Yuk, berbagi di kolom komentar!

Posting Komentar